Radio Streaming Soneta
Silahkan install flash player untuk mendengarkan Radio Streaming ini
Sunday, May 6, 2012
BIOGRAFI SANG RAJA
Raden Haji Oma Irama atau disingkat Rhoma Irama yang berjuluk Raja
Dangdut, lahir pada tanggal 11 Desember 1946 di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Ia bergelar raden karena pada kedua orang tuanya mengalir darah
bangsawan/ningrat. Ia merupakan putra kedua dari dua belas bersaudara,
yaitu delapan saudara laki-laki dan empat saudara perempuan (delapan
saudara kandung, dua saudara seibu dan dua saudara bawaan ayah tirinya).
Ayahnya, Raden Burdah Anggawirya merupakan mantan komandan
gerilyawan Garuda Putih pada zaman kemerdekaan. Ia memberi nama ‘Irama’
karena bersimpati terhadap grup sandiwara asal Jakarta yang bernama
Irama Baru yang pernah diundang untuk menghibur pasukannya di
Tasikmalaya. Ia sangat pandai dalam memainkan alat musik serta
menyanyikan lagu-lagu cianjuran. Sedangkan Ibunya bernama Tuti Juariah,
ia pun merupakan keturunan ningrat dan pandai pula dalam menyanyi,
seperti lagu No Other Love yang sering didengarkan Rhoma sewaktu kecil.
Sebelum tinggal di Tasikmalaya, keluarganya tinggal di Jakarta dan
di kota inilah, kakaknya Benny Muharram dilahirkan. Sedangkan Rhoma
lahir di Tasikmalaya beberapa saat setelah pindah ke kota tersebut.
Setelah lahir Rhoma, lahir pula adik-adiknya, seperti Handi dan Ance.
Setelah itu, mereka pindah lagi ke Jakarta dan tinggal di Jalan
Cicarawa, Bukit Duri, lalu pindah ke Bukit Duri Tanjakan. Di kota inilah
mereka menghabiskan masa remajanya sampai tahun 1971, lalu pindah ke
Tebet.
Semenjak kecil Rhoma sudah terlihat bakat seninya. Tangisannya
terhenti tiap kali ibundanya, Tuti Juariah menyenandungkan lagu-lagu.
Masuk kelas nol ia sudah mulai menyukai lagu. Minatnya pada lagu semakin
besar ketika masuk sekolah dasar. Menginjak kelas 2 SD ia sudah bisa
membawakan lagu-lagu barat dan India dengan baik. Ia suka menyanyikan
lagu No Other Love, kesayangan ibunya dan lagu Mera Bilye Buchariajaya yang dinyanyikan oleh Latta Mangeshkar. Selain itu ia juga menikmati lagu-lagu Timur Tengah yang dinyanyikan oleh Umm Kaltsum.
Bakat musiknya mungkin berasal dari ayahnya yang fasih memainkan
seruling dan menyanyikan lagu-lagu cianjuran, sebuah kesenian khas
Sunda. Selain itu, pamannya, Arifin Ganda sering mengajarkan lagu-lagu
Jepang ketika Rhoma masih kecil.
Karena usia Rhoma yang tidak berbeda jauh dengan kakaknya, mereka
selalu kompak dan pergi berdua-duaan. Berbeda dengan kakaknya yang malas
mengikuti pengajian di surau atau di rumah kyai, Rhoma selalu mengikuti
pengajian dengan tekun. Setiap kali ayah dan ibunya bertanya, apakah
kakaknya ikut mengaji, Rhoma selalu menjawab ‘ya. Berangkat ke sekolah
pun mereka selalu berangkat bersama-sama dengan berboncengan sepeda.
Keduanya bersekolah di SD Kibono, Manggarai.
Ketika SD, bakat menyanyi Rhoma semakin kelihatan. Rhoma
adalah murid yang paling rajin bila disuruh maju ke depan kelas untuk
menyanyi. Uniknya, Rhoma tidak sama dengan murid-murid yang lain yang
sering malu-malu di depan kelas. Rhoma menyanyi dengan suara keras
hingga terdengar sampai kelas-kelas lain. Perhatian murid-murid semakin
besar karena Rhoma tidak menyanyikan lagu anak-anak maupun lagu
kebangsaan, melainkan lagu-lagu India.
Bakatnya sebagai penyanyi mendapat perhatian dari penyanyi senior,
Bing Slamet karena terkesan melihat penampilan Rhoma ketika menyanyikan
lagu barat dalam acara pesta di sekolahnya. Suatu hari, ketika Rhoma
duduk di kelas 4, Bing Slamet membawanya tampil dalam sebuah show di
Gedung SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) di Manggarai. Ini merupakan
pengalaman yang berharga bagi Rhoma.
Sejak saat itu, meskipun belum berpikir untuk menjadi penyanyi Rhoma
sudah tidak terpisahkan lagi dari musik. Atas usaha sendiri ia belajar
memainkan gitar hingga mahir. Karena saking tergila-gilanya dengan
gitar, Rhoma sering membuat ibunya marah besar. Setiap kali ia pulang
sekolah yang pertama dicarinya adalah gitar. Begitu pula ketika setiap
kali ia keluar rumah hampir selalu membawa gitar. Pernah suatu kali
ibunya menyuruh Rhoma menjaga adiknya, tetapi Rhoma lebih suka memilih
bermain gitar. Akibat ulah tersebut, ibunya merampas gitarnya lalu
melemparkannya ke pohon jambu hingga pecah. Kejadian itu membuat Rhoma
sedih karena gitar adalah teman nomor satu baginya.
Perkembangan selanjutnya dalam mempelajari musik ia mulai menyadari
bahwa meskipun ayah dan ibunya pasangan berdarah ningrat yang menyukai
musik, tetapi mereka tetap menganggap bahwa dunia musik bukanlah sesuatu
yang patut dibanggakan atau dijadikan profesi. Ibunya sering
meneriakkan ‘berisik’ setiap kali ia menyanyi dan beranggapan, bahwa
musik akan menghambat sekolahnya. Kenyataan ini membuat bakat musik
Rhoma semakin berkembang di luar rumah karena jika di rumah ia kurang
mendapat dukungan.
Pada saat Rhoma duduk di kelas 5 SD tahun 1958 ayahnya meninggal
dunia. Sang ayah meninggalkan delapan anak yaitu: Benny, Rhoma, Handi,
Ance, Dedi, Eni, Herry dan Yayang. Kemudian, ibunya menikah lagi dengan
seorang perwira ABRI, Raden Soma Wijaya yang masih ada hubungan famili
dan juga berdarah ningrat. Ayah tirinya ini membawa dua anak dari
istrinya yang dulu dan setelah menikah dengan ibu Rhoma memiliki dua
anak lagi.
Ketika ayah kandungnya masih hidup suasana di rumahnya
feodal. Bahasa sehari-hari ayah dan ibunya adalah bahasa Belanda.
Segalanya harus serba teratur dan menggunakan tatakrama tertentu. Para
pembantu harus memanggil anak-anak dengan sebutan ‘Den’ (raden).
Anak-anak harus tidur siang dan makan bersama-sama. Ayahnya juga tak
segan-segan menghukum mereka dengan pukulan jika dianggap melakukan
kesalahan, seperti bermain hujan ataupun membolos sekolah.
Keadaan keluarga Rhoma di Tebet waktu itu memang tergolong cukup kaya
bila dibandingkan masyarakat sekitar. Rumahnya mentereng dan memiliki
beberapa mobil, seperti, mobil merk Impala, mobil yang tergolong mewah
pada waktu itu. Rhoma juga selalu berpakaian bagus dan mahal.
Namun, suasana feodal tersebut tidak ada lagi setelah ayah tirinya
hadir di tengah-tengah keluarga mereka. Bahkan, berkat ayah tiri serta
pamannya inilah Rhoma mendapatkan ‘angin’ untuk menyalurkan bakat
musiknya. Secara bertahap ayah tirinya membelikan alat musik akustik
seperti, gitar, bongo, dan sebagainya.
Dunia Rhoma di masa kanak-kanak rupanya bukan hanya di
dunia musik. Rhoma juga sering adu jotos dengan anak-anak lain.
Lingkungan pergaulannya ketika itu tergolong keras. Anak-anak saat itu
cenderung mengelompok dalam geng dan satu geng dengan geng lainnya
saling bermusuhan atau paling tidak saling bersaingan. Dengan demikian
perkelahian antar geng sering tak terhindarkan.
Bukitduri, tempat tinggalnya hampir setiap kampung di daerah itu
terdapat geng (kelompok anak muda). Di Bukitduri ada BBC (Bukitduri Boys
Club), di Kenari ada Kenari Boys, Cobra Boys, dan sebagainya. Banyak
anak muda dari Bukitduri Puteran dan dari Manggarai yang bergabung
dengan Geng Cobra. Geng-geng ini saling bermusuhan sehingga keributan
selalu hampir terjadi setiap mereka bertemu.
Satu hal yang cukup menonjol pada diri Rhoma adalah, bahwa
teman-temannya hampir selalu menjadikannya sebagai pemimpin. Tentu saja
bila gengnya bentrok dengan geng lain, Rhoma-lah yang diharapkan tampil
di depan untuk berkelahi. Meskipun pernah menang beberapa kali Rhoma
juga sering mengalami babak belur bahkan luka cukup parah karena
dikeroyok 15 anak di daerah Megaria.
Ketika ia masuk SMP tempat-tempat berlatih silat semakin marak.
Tetapi, bagi Rhoma ilmu bela diri nasional ini tidaklah asing karena
sejak kecil ia sudah dapat latihan dari ayahnya dan beberapa guru
lainnya. Rhoma pernah belajar silat Cingkrik (paduan silat Betawi dan
Cimande) kepada Pak Rohimin di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Rhoma juga
pernah belajar silat Sigundel di jalan Talang, selain beberapa ilmu
silat yang lain. Bila terjadi perkelahian antar geng para anggotanya
saling menjajal ilmu silat yang telah mereka pelajari.
Karena kebandelannya itulah, maka Rhoma beberapa kali harus tinggal
kelas sehingga karena malu maka ia sering berpindah sekolah. Kelas 3 SMP
pernah dijalaninya di Medan, Sumatera Utara ketika ia dititipkan di
rumah pamannya. Tapi, tak berapa lama kemudian, ia pindah lagi ke SMP
Negeri XV Jakarta.
Kenakalan Rhoma terus berlanjut hingga bangku SMA. Pada waktu
bersekolah di SMA Negeri VIII Jakarta, ia pernah kabur dari kelas lewat
jendela karena ingin bermain musik dengan teman-temannya yang sudah
menunggunya di luar. Kegandrungannya pada musik dan berkelahi di dalam
dan luar sekolah membuatnya sering keluar masuk sekolah SMA. Selain di
SMA Negeri VIII Jakarta, ia juga pernah tercatat sebagai siswa di SMA
PSKD Jakarta, SMA St. Joseph di Solo dan akhirnya ia menetap di SMA 17
Agustus Tebet, Jakarta, tak jauh dari rumahnya.
Pada masa SMA di Solo Rhoma pernah melewati masa-masa sangat pahit.
Ia terpaksa menjadi pengamen di jalanan kota Solo. Di sana ia ditampung
di rumah seorang pengamen yang bernama Mas Gito. Sebenarnya sebelum
terdampar di Solo ia berniat hendak belajar di pesantren Tebu Ireng,
Jombang, Jawa Timur. Namun, karena tidak membeli karcis Rhoma, Benny
(kakaknya) dan tiga orang temannya, Daeng, Umar dan Haris harus main
kucing-kucingan dengan kondektur selama dalam perjalanan. Daripada terus
gelisah karena takut ketahuan dan diturunkan ditempat sepi, mereka
akhirnya memilih turun di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Dari Yogya mereka
naik kereta lagi menuju Solo.
Ketika di Solo Rhoma melanjutkan sekolahnya di SMA St. Joseph. Biaya
sekolahnya diperoleh dari ngamen dan menjual beberapa potong pakaian
yang dibawanya dari Jakarta. Namun karena di Solo sekolahnya tidak
lulus, Rhoma harus pulang ke Jakarta dan melanjutkan sekolah di SMA 17
Agustus sampai akhirnya lulus tahun 1964. Kemudian, ia kuliah di
Fakultas Sosial Politik, Universitas 17 Agustus. Tapi, hal tersebut
hanya bertahan satu tahun karena ketertarikannya pada dunia musik yang
begitu besar.
Musik pop dan rock merupakan langkah pertama Rhoma
sebagai pemusik dan penyanyi. Seperti dikisahkan kakak kandungnya, Benny
Muharram, bahwa Rhoma sempat enggan merekam lagu Melayu yang ditawarkan
oleh Dick Tamimi dari perusahaan rekaman Dimita Moulding Company pada
tahun 1967, meskipun sebelumnya dia sudah sering menyanyi bersama
sejumlah orkes melayu.
Selain menjadi penyanyi Orkes Melayu Candraleka dan Indraprasta,
Rhoma juga melantunkan suaranya bersama Band Tornado dan Varia Irama
Melody. Bersama band-band tersebut Rhoma membawakan lagu-lagu pop barat
dan menyanyi sambil meniru persis suara Paul Anka melalui lagu yang
berjudul Diana ataupun Put Your Head On My Shoulder dan lagunya Andy Williams seperti, Butterfly, Moon River, serta Tom Jones seperti, Green-green Grass of Home, Dellilah.
Rhoma memang sudah bergelut dengan musik pop sejak masih di bangku
SMA. Bersama teman-teman sekolahnya ia sempat membentuk Band Gayhand.
Ketika musik Rock n’ Roll melanda Indonesia, ternyata hal tersebut
membuat Rhoma terpesona hingga dalam hatinya ia bertekad “Elvis saja
bisa menjadi raja dengan gitarnya, saya juga bisa”.
Namun begitu berada di dalam dunia musik, Rhoma ikut terbawa arusnya.
Dengan meniru gaya menyanyi Benyamis S. dan Ida Royani, Muchsin Alatas
dan Titiek Shandora yang sedang populer, Rhoma tidak keberatan diduetkan
dengan Inneke Kusumawati oleh Amin Widjaya dari perusahaan rekaman
Metropolitan dan Canary Records. Diiringi Band Zaenal Combo pimpinan
Zaenal Arifin, Rhoma dan Inneke rekaman dalam sejumlah lagu seperti,
Pujaan Hati, Di Rumah Saja, Bunga dan Kupu-kupu, Mohon Diri, Mabuk
Kepayang, Jangan Dekat-dekat, Anaknya Lima, Si Oteh, Lonceng Berbunyi,
Melati di Musim Kemarau dan Cinta Buta. Menurut Zakaria, pimpinan Orkes
Pancaran Muda yang salah satu lagunya, Anaknya Lima, dibawakan duet ini.
Munculnya pasangan Rhoma-Inneke sempat menggoyahkan popularitas Muchsin
Alatas dan Titiek Sandora.
Melihat keberhasilannya berduet dengan Inneke, kemudian
Zakaria menyarankan Rhoma berduet dengan Wiwiek Abidin untuk mengikuti
lomba menyanyi di Singapura pada tahun 1971, dan duet Rhoma-Wiwiek
berhasil menjadi juara.
Pada acara Panggung Gembira Hari Radio ke 26 di halaman gedung RRI
Jln. Merdeka Barat, 19 Januari 1971, walau termasuk masih baru, duet
Rhoma-Inneke menjadi pusat perhatian di antara penyanyi-penyanyi duet
lainnya, seperti, Elly Kasim-Tiar Ramon, Vivi Sumanti-Frans Doromez dan
Ida Royani- Benyamin Sueb. Duet Rhoma-Inneke juga diiringi oleh Band
Galaxi pimpinan Jopie Item ketika rekaman. Dengan pakem musik rock,
Jopie mengiringi Rhoma mengiringi sendirian dengan pekik dan teriakan
yang kemudian diteruskannya setelah mendirikan Soneta Group pada 13
Oktober 1970.
Pergaulan Rhoma dengan musik pop dan rock pula yang mempertemukannya
dengan pimpinan band perempuan Beach Girls yang bernama Veronica
Agustina Timbuleng dan lantas menikahinya pada tahun 1972. Pasangan ini
dikaruniai tiga orang anak, yaitu Debbie Veramasari, Fikri Zulfikar dan
Romy Syahrial.
Arus industri musik juga sempat membawa Rhoma dan Vero bertrio dengan
Debbie mengikuti sukses Chicha dengan lagu Heli serta Yoan dengan lagu
Si Kodok pada tahun 1976. Akan tetapi, setelah memimpin grupnya sendiri,
Soneta Group yang bersemboyan Voice of Moslem (Suara Muslim),
Rhoma justru menjadi arus itu sendiri dengan menyuntikkan musik rock ke
dalam album dangdutnya yang pertama yang berjudul ‘Begadang’, yang
berisi lagu-lagu Begadang, Sengaja, Sampai Pagi, Tung Keripit, Cinta
Pertama, Kampungan, Ya Le Le, Tak Tega dan Sedingin Salju. Akibatnya,
Rhoma menyulut pro dan kontra. Komunitas dangdut banyak yang keberatan,
sementara kalangan pemusik rock menerima dengan sinis. Ujung-ujungnya
diadakan diskusi yang bertajuk “Sekitar Musik Hard Rock dan Dangdut” di
Gedung Merdeka Bandung pada akhir Juni 1976, dengan Maman S. dari
majalah Aktuil sebagai penyelenggara, dan menghadirkan pembicara Dr.
Sudjoko dari ITB, Remy Silado, Benny Subarja dan Denny Sabri sebagai
wakil Rhoma yang tidak hadir. Ahmad Albar dan Harry Roesli yang diundang
tidak juga tidak kelihatan. Eksperimen Rhoma yang semestinya dijadikan
perhatian serius justru menjadi olok-olok hingga timbul ejekan, seperti,
tahi anjing dan bistik jangan dibandingkan gado-gado. Grup rock God
Bless dan Soneta dipertemukan di Istora, pada 22 Desember 1977 dengan
maksud melihat mana yang lebih hebat, rock atau dangdut. Padahal,
sebelum manggung Rhoma melepaskan merpati putih sebagai tanda
perdamaian.
Sebagaimana diskusinya, pertunjukan di Istora tersebut juga tidak
memberikan solusi yang konkret. Grup musik rock tetap berjalan
sebagaimana biasa, sementara Rhoma justru terus berkibar dengan dangdut
rocknya yang semakin membumi sampai-sampi masyarakat menjulukinya ‘Raja
Dangdut’. Album-album rekamannya yang semakin ‘ngerock’
mengalir tanpa bisa dibendung, bahkan oleh pemerintah Orde Baru
sekalipun yang dengan alasan politik melarangnya tampil di stasiun
televisi satu-satunya saat itu, TVRI. Hal tersebut merupakan dampak atas
lagu-lagunya yang menyindir pemerintah, seperti pada lagu Hak Azasi.
Pada lagu tersebut dengan gagah berani Rhoma berbicara mengenai HAM,
kebebasan berbicara, beragama, bekerja dan sebagainya. Album rekamannya
menjadi arus yang memutar roda industri musik semakin kencang. Setelah
album Begadang menjadi sangat populer, menyusul album-album berikutnya,
seperti; Penasaran (1976), Rupiah (1976), Darah Muda (1977), Musik
(1977), 135 Juta (1978), Santai (1979), Hak Azasi (1980), Begadang II
(1981), Sahabat (1982), hingga Indonesia (1983), yang semuanya
diproduksi oleh Yukawi Corporation. Perusahaan rekaman ini lantas
berubah menjadi Soneta Records, milik Rhoma.
Langkah tegap Rhoma semakin mantap dengan membintangi beberapa film,
seperti; Oma Irama Penasaran (1976), Gitar Tua Oma Irama (1977), Oma
Irama Berkelana I (1978), Oma Irama Berkelana II (1978), Begadang
(1978), Raja Dangdut (1978), Cinta Segitiga (1979), Camelia (1979),
Perjuangan dan Doa (1980), Melodi Cinta Rhoma Irama (1980), Badai di
Awal Bahagia (1981), Satria Bergitar (1984), Cinta Kembar (1984),
Pengabdian (1985), Kemilau Cinta di Langit Jingga (1985), Menggapai
Matahari I (1986), Menggapai Matahari II (1986), Nada-nada Rindu (1987),
Bunga Desa (1988), Jaka Swara (1990), Nada dan Dawah (1991), serta
Tabir Biru (1994), diteruskannya dengan penerbitan soundtrack yang laris
manis. Dalam film Darah Muda, Rhoma bahkan menggandeng Ucok Harahap
dari grup rock Aka yang pernah bertarung dengan Soneta Group di atas
panggung. Pertarungan musik rock dan dangdut juga adalah inti cerita
film ini.
Berdasarkan data penjualan kaset dan jumlah penonton film-film yang
dibintanginya, penggemar Rhoma tak kurang dari 15 juta atau 10% penduduk
Indonesia. Ini catatan sampai pertengahan tahun 1984. “Tidak ada
kesenian mutakhir yang memiliki lingkup sedemikian luas”, tulis majalah
Tempo pada 30 Juni 1984. sementara itu Rhoma sendiri berkata, “Saya
takut publikasi, ternyata, saya sudah terseret jauh”.
Data PT Perfin menyebutkan, hampir semua film Rhoma laku. Bahkan,
sebelum sebuah film selesai diproses orang sudah membelinya, seperti
film berjudul Satria Bergitar misalnya. Film yang dibuat dengan biaya Rp
750 juta ini, ketika belum rampung sudah memperoleh pialang Rp 400
juta. Menurut kakaknya, Benny, yang juga produser PT Rhoma Film, Rhoma
tidak pernah makan uang dari hasil film, tetapi dari hasil penjualan
kaset. Uang hasil film disumbangkan untuk, antara lain, masjid, yatim
piatu, kegiatan remaja dan perbaikan kampung. Bahkan, pada tahun 1983
Rhoma membayar zakat sebesar Rp 6 juta.
Meskipun demikian, jika dikaitkan dengan perolehan material, Rhoma
bisa dikatakan sebagai pemusik terkaya di negeri ini. Bayangkan, sebelum
pemusik lain naik mobil Mercy, ia sudah menikmati kenyamanan mobil
mewah itu sejak tahun 70-an. Hal tersebut terindikasi ketika membaca
wawancaranya dengan harian The Jakarta Post, saat Rhoma secara rendah
hati menyatakan punya uang yang cukup meski tidak banyak. Hal itu masuk
akal, mengingat sejeblok-jebloknya kaset Rhoma Irama di pasaran, minimal
akan terjual sampai 400 ribu copy per album. Ini semakin menggelikan
jika dibandingkan dengan musisi di luar dangdut yang acapkali berbangga
secara berlebihan meski kasetnya hanya terjual tak lebih dari 100 ribu
copy.
Boleh jadi sampai kini kejayaan Rhoma belum tergantikan. Kalau dulu ada sebutan The Big Five
untuk para ‘Bintang Mahal’, seperti, Roby Sugara, Roy Marten dan Yati
Ocktavia, maka pada saat yang sama sebenarnya nilai kontrak Rhoma tetap
jauh di atas mereka. Bahkan, banyak produser film rela menunggu giliran
sampai tiga tahun hanya untuk dapat mengontrak Rhoma.
Selain itu, Rhoma juga terhitung sebagai salah satu penghibur paling
sukses dalam mengumpulkan massa. Rhoma bukan hanya tampil di dalam
negeri, tetapi ia juga pernah tampil di Kuala Lumpur, Singapura dan
Brunei Darussalam dengan jumlah penonton yang hampir sama ketika ia
tampil di Indonesia. Beberapa media massa Indonesia melaporkan, bahwa,
penonton pertunjukan Rhoma di berbagai daerah ada yang jatuh pingsan
atau celaka lantaran terlalu berdesakan. Hal yang sangat disesalkan
Rhoma sendiri. “Untuk mendapatkan hiburan, mengapa mesti sampai jatuh
korban begitu?” katanya.
Rhoma menyatakan, bahwa dirinya banyak dijadikan bahan rujukan
penelitian. Ada sekitar 7 skripsi tentang dirinya dan musik yang telah
dihasilkan. Selain itu, peneliti asing juga kerap menjadikannya obyek
penelitian, salah satunya adalah William H. Frederick, Doktor Sosiologi,
Universitas Ohio, AS pada 1985 dengan judul; Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspect of Contemporary Indonesia Popular Culture,
yang meneliti tentang kekuatan popularitas serta pengaruh Rhoma Irama
pada masyarakat. Ia menyebutkan dalam tesisnya, bahwa: “Rhoma Irama
adalah revolusioner dalam dunia musik Indonesia. Hampir bisa dipastikan,
di Indonesia, Rhoma Irama adalah penghibur paling jempolan. Sejak
rapat-rapat raksasa di masa Demokrasi Terpimpin, acara panggung yang
paling banyak dibanjiri massa adalah panggung Rhoma Irama”. Lebih lanjut
ia mengatakan, “Bila di dunia musik Amerika sosok Mick Jagger sangat
berpengaruh, di Indonesia, bandingan sosok yang sepadan dengannya ada
pada figur Rhoma Irama. Kedua orang ini sama-sama jenius dan otodidak.
Keduanya mampu tampil ke posisi puncak musikalnya karena kekuatan bakat
alam yang luar biasa hebat.”
Pada akhir April 1994 Rhoma Irama menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Tanaka dari Life Record
Jepang di Tokyo. Sebanyak 200 buah judul lagunya akan direkam ke dalam
bahasa Inggris dan Jepang, untuk diedarkan di pasar Internasional.
Rencananya lagu-lagu tersebut dibuat dalam bentuk laser disc (LD) dan compact disc (CD).
Mereka digambarkan sebagai raja dan ratu yang sama-sama mempunyai
kerajaan. Suasana itu makin kental dan legitim dengan hadirnya MURI
(Museum Rekor Indonesia -red.) yang memasukkan Rhoma dan Elvy sebagai
raja dan ratu dangdut Indonesia. Meski terlambat, tentu cukup menghibur.
Soalnya, jauh sebelum itu, di tahun 1985, majalah Asia Week telah
menempatkan Rhoma Irama sebagai raja musik Asia Tenggara.
Ngenet dibayar harian....
KLIK DISINI, Insya Allah Halal
(diweb klik Skip add, kemudian ikuti panduannya)
Ngenet dibayar harian....
KLIK DISINI, Insya Allah Halal
(diweb klik Skip add, kemudian ikuti panduannya)
dari berbagai sumber
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment