Radio Streaming Soneta

Silahkan install flash player untuk mendengarkan Radio Streaming ini

Monday, May 7, 2012

DOWNLOAD LAGU SONETA

Cara download : klik kanan di judul lagu, klik new tab (tab baru), klik Skip add (lewati)

1001macam
Ani 
Baca 
Beku 
Buta 
Cane 
Cape 

















ALBUM SONETA

Album-album Volume Soneta

Betapa Soneta Grup merupakan legenda hidup Indonesia hingga kini, terbutkti sudah banyak album rekaman yang dihasilkan semenjak awal berdiri hingga saat ini. Dalam tulisan ini, kami cantumkan koleksi album rekaman Soneta Grup yang telah ditulis oleh beberapa sahabat Soneta Fans Club Indonesia (SFCI) dan sahabat Soneta Mania (SONIA). (Admin)
SONETA Volume 1 “Begadang” (Yukawi, 1975)
Inilah debut album Soneta Group bersama Yukawi yang melejitkan hits Begadang. Dengan lirik dan beat yang sederhana lagu Begadang menghantarkan Soneta Group bersama Pak Haji dan Elvy Sukaesih ke gerbang kesuksesan.
Konon sebetulnya yang dijagokan adalah lagu Tung Keripit yang dinilai memiliki nilai lebih dari segi aransemen musik dan beat lagu.
Lagu Begadang sempat pula direkam dan diedarkan oleh Remaco dengan artis Favourites Group pimpinan A. Riyanto. Pada tahun 80-an, Group Jazz Karimata (kalau tidak salah) pernah merekam lagu Begadang secara instrumental.
Album Begadang merupakan kaset Indonesia pertama yang menyelipkan lirik lagu pada sampul/cover kasetnya.
Cover kaset menampilkan foto Pak Haji yang berambut gondrong dan Elvy Sukaesih berdiri di depan rumah dengan pakaian khas tahun 70-an.

artikel : Noer MN (Soneta Mania) – foto : Muchit Chusnan
SONETA Volume 2 “Penasaran” (Yukawi, 1975)
Album ini melahirkan hits Penasaran. Lagu Teman sekilas sangat mirip dengan lagu Holiday-nya Bee Gees. Cover kaset gambar setengah badan yang diambil dari samping, Pak Haji bersedekap berhadap an dengan Elvy S. yang juga bersedekap saling berpandangan.
artikel : Noer MN (Soneta Mania) – foto : Muchit Chusnan
SONETA Volume 3 “Rupiah” (Yukawi, 1975)
Album ini dirilis menjelang keberang katan Pak Haji ke tanah suci. Cover kasetnya keren. Pak Haji dan Elvy S. berdiri sejajar bertumpu pada instrumen musik dengan busana merah menyala dan rambut yang dibiarkan tergerai.
Album ini menjadi puncak perseteruan antara Remaco dan Yukawi yang saling mengklaim mempunyai hak kontrak atas Pak Haji, Elvy dan Soneta. Bahkan saling perang iklan/ somasi yang dimuat pada majalah Tempo. Album ini juga merupakan album terakhir Elvy S. bergabung dengan Soneta dan selanjutnya bersolo karir di bawah Remaco, seteru Yukawi.
Semua lagu ciptaan Pak Haji kecuali lagu Beku yang diciptakan bersama Yeyet Lagu terakhir (Mengapa Merana) sepertinya tidak dibuat dan diiringi Soneta karena terasa sekali atmosfernya beda dengan atmosfer musik Soneta.
artikel : Noer MN (Soneta Mania) foto : Muchit Chusnan
SONETA Volume 4 “Darah Muda” (Yukawi, 1976)
Album ini adalah debut pertama Rita Sugiarto bergabung bersama Soneta.
Album ini merupakan kaset pertama yang memberikan hadiah kepada pembelinya berupa sebuah poster yang berukuran sangat besar yang bergambar Pak Haji yang sudah tidak gondrong lagi sepulang ibadah haji dan Rita S. yang sedang melambaikan tangan.

artikel : Noer MN (Soneta Mania) foto : Muchit Chusnan
SONETA Volume 5 “Musik” (Yukawi, 1976)
Album ini adalah album terakhir Herman (Bass) dan Kadir (gendang) bergabung dengan Soneta. Karena perbedaan prinsip keduanya mengundurkan diri usai sebuah pertunjukan tour show di Jawa Timur.
Herman dan Kadir kemudian membentuk OM. Sanita dengan penyanyi Teti Safari, kemudian sempat bergabung dalam OM. Mahkota bersama Elvy Sukaesih dan sempat pula bergabung dengan Tarantula-nya Camelia Malik dan Reynold Panggabean. Penampilan mereka bersama Tarantula bisa disaksikan pada film Colak-coleknya Camelia Malik.
Tahun 2003 Herman kembali bergabung mengganti kan Alm. H. Popong yang saat itu sakit keras.
Cover kasetnya bergambar Pak Haji menyandang gitar dengan pakaian putih lengkap dengan sorbannya. 
artikel : Noer MN (Soneta Mania) foto : Muchit Chusnan

SONETA Volume 6 “135.000.000” (Yukawi, 1976)
Posisi gendang pada album ini diisi oleh H. Afif, yang awalnya adalah musisi Rock Gafiyas dari Jawa Timur. Herman masih sempat mengisi bass untuk album ini.
Lagu 135.000.000 menjadi lagu favorit pilihan pemirsa yang diselenggarakan oleh Radio Puspen Hankam ABRI, sedangkan Rhoma Irama dan Rita S. meraih predikat penyanyi kesayangan pemirsa.
Lagu 135.000.000 adalah satu-satunya lagu di Indonesia yang judulnya berubah-ubah setiap tahun. Saya punya rekaman live Pak Haji menyanyikannya menjadi 165.000.000 pada pertunjukan Indonesia Musik Festival di Istora Senayan, menjadi 185.000.000 pada pertunjukan Semarak Dangdut di Ancol dan belakangan menjadi 200.000.000.
artikel : Noer MN (Soneta Mania) foto : Muchit Chusnan

SONETA Volume 7 “Santai” (Yukawi, 1977)
Pak Haji pada saat perilisan album ini menyebutnya sebagai funky dangdut. Indra Lesmana sangat suka lagu Santai yang menurutnya pada Majalah Mutiara tahun 1985 sebagai fusion. Group Band GIGI pernah membawakan lagu ini pada show-nya di Amerika.  Kolaborasi yang apik untuk lagu santai terjadi saat acara Joged RCTI yang menampilkan kolaborasi Soneta dan DKSB-nya (alm.) Harry Rusli yang menggandeng penyanyi jazz, Shania untuk duet bersama Pak Haji. Kehebohan terjadi karena Harry Rusli membawa perabot makan mulai dari piring, sendok sampai meja keatas panggung. Slank-pun pernah membawakan lagu ini pada pertunjukan Slank dan Soneta di Sidoarjo. Di tangan Slank, lagu Santai jadi makin nge-rock dan sangat asyik dinikmati.
Cover album ini bergambar Pak Haji sedang memainkan Sitar India lengkap dengan tumpukan gendang tabla-nya. Pada Album ini bass sudah mulai diisi oleh H. Popong, rekan H. Afifi di Band Gafiyas
artikel : Noer MN (Soneta Mania) foto : Muchit Chusnan


SONETA Volume 8 “Hak Azazi” (Yukawi, 1977)
Menurut saya inilah awal revolusi dangdut ala Soneta. Raungan gitar Pak Haji mulai dominan pada album ini. Sound Gitarnya sudah sangat mirip Ritchie Blackmore. Saya paling suka permainan melody Pak Haji pada lagu Buta dan Percuma. Sepertinya lagu Buta ini satu-satunya lagu yang menggambarkan perasaan seorang tuna netra benar-benar menyentuh.
Pada lagu Ingkar, Pak Haji mencoba bergaya nge-rap pada beberapa bagian syairnya. Lagu Kuraca mengingatkan saya pada lagu Dendang Riang yang dibawakan Pak Haji tahun 70-an bersama OM. Purnama. Terobosan Pak Haji bersama SONETA di album ini benar-benar berhasil dan hebat.
Album ini sempat dilarang diiklankan di TVRI, bahkan mulai pada saat itu Rhoma dan Soneta benar-benar diharamkan masuk TVRI meskipun hanya lewat iklan. Alasan tertulisnya tidak pernah ada. Tetapi kemungkinan karena kemenangan PPP yang didukung Pak Haji atas Golkar di DKI Jakarta membuat merah muka para penguasa saat itu.  artikel : Noer MN (Soneta Mania) foto : Muchit Chusnan


SONETA Volume 9 “Begadang II” (Yukawi, 1978)
lagu HAYO dalam album ini dicoret, di masukkan sebagai lagu bonus Sound Track Film “Begadang” yang juga dirilis pada tahun 1978.

SONETA Volume 10 “Sahabat” (Yukawi 1978)
Ternyata revolusi belum berakhir. Lewat Album ini Soneta kembali membuktikan keunggulannya dalam meramu musik Rock-Dangdut yang disebut Pak Haji sebagai Dynamic Dangdut. Perubahan terlihat jelas pada pukulan gendang H. Afif yang kini dilengkapi drum. Juga raungan Hammond dan Farfisa-nya H. Riswan pada lagu tersesat.
(artikel Noer Soneta Mania, foto muchit chusnan)

SONETA Volume 11 “Indonesia” (Yukawi 1982)
Album ini makin membuat merah telinga rezim korup Orde Baru. Korupsi dan kesenjangan sosial digarap habis-habisan pada lagu Indonesia. Sampai saat ini lagu Indonesia tetap aktual untuk dibawakan. “Yang kaya makin kaya… yang miskin makin miskin…” tetap terjadi sampai saat ini. Bisa dikatakan inilah lagu kritik sosial terbaik Pak Haji dan Soneta.
Untuk pertama kalinya album Soneta dimulai dengan sapaan Assalamualaykum kepada para penggemar. Album ini Pak Haji menggamit Nandani sebagai penyanyi tamu menggantikan Rita Sugiarto. Lagu Takkan Lagi diambil dari lagu film India yang berjudul sama yaitu Main Tulsi Tere Anggar Ki.
Untuk pertama kalinya pula side B diisi tetap dengan lagu-lagu Soneta setelah pada album-album sebelumnya Side B diisi oleh grup dangdut lain, seperti: Meggy Z, Ruston Nawawi, dll.
(artikel Noer Soneta Mania, foto muchit chusnan)
SONETA Volume 12 “Renungan Dalam Nada” (Yukawi 1983)
Untuk pertama kalinya memakai judul album yang tidak ada dalam deretan lagu. Dibuka dengan intro musik layaknya pertunjukan panggung drama. Pada album ini terdengar sekali gaya pukulan gendang H. Afif yang sangat berbeda dengan pukulan gendang grup dangdut lainnya. Soneta makin ekspresif di album ini. Pemilihan judul album sangat sesuai dengan syair-syair lagu yang sangat sarat nilai dakwah.
Pada album ini ada beberapa bafian bass yang dimainkan oleh Lucy Angoman, bassist Soneta Girl karena kebetulan H. Popong cidera tangan.
(artikel Noer Soneta Mania, foto Muchit Chusnan)
SONETA Volume 13 “Emansipasi Wanita” (Soneta Record 1984)
Album ini merupakan album pertama yang diproduksi sendiri oleh Pak Haji di bawah label Soneta Record yang mengambil alih Yukawi karena sudah tidak aktif lagi.  Album ini membawa pencerahan baru bagi musik Soneta. Pak Haji memasukkan Brass Section yang diisi oleh Dadi, Farid dan Yanto pada saxofone, alto sax dan trompet. Penyanyi wanitanya pun pendatang baru yang diperkenalkan langsung dalam album ini, yaitu Nur Halimah untuk membawakan lagu manis, Nasib Bunga.
Sayangnya album spektakuler ini harus terkena imbas peceraian Pak Haji dengan Ibu Veronica yang sempat membuat banyak penggemar kecewa. Album ini sangat kaya dalam aransemen musik dan kuat dalam syair lagu-lagunya. Pak Haji mengangkat tema Emansipasi yang belum pernah diangkat oleh musisi Indonesia sampai saat ini. Saya paling suka syair lagu Nilai Sehat, maknanya dalam sekali. Album ini sempat dirilis ulang tetapi dengan mengangkat lagu Modern sebagai judul utamanya.
(artikel Noer Mn / Soneta Mania – desain foto Muchit Chusnan)

SONETA Volume 14 “Judi” (MAA Record 1988)
Album ini adalah pecahan album soundtrack film Nada-nada Rindu yang keseluruhan berisi 8 lagu dan mungkin atas perhitungan bisnis dibagi menjadi dua album. Sejatinya album ini hanya berisi 2 lagu yang bukan soundtrack film yaitu Penyakit Ci…nta dan Harga Diri. Untuk album ini Pak Haji kembali menggamit Riza Umami pada vokal pendamping.
Memang secara power suara Riza Umami lebih kuat dibanding Nur Halimah yang sangat cocok untuk lagu-lagu slow/lembut.  Lagu Judi menjadi titik awal kemunculan kembali Soneta di TVRI setelah dicekal selama 11 tahun, sejak tahun 1977. Lagu Judi muncul pertama kali di TVRI pada tanggal 8 Mei 1988 pada acara Kamera Ria.
Pada film Nada-nada Rindu syair lagu Judi tidak sama dengan yang dibawakan dalam kaset yaitu, Kaset : Apapun nama dan bentuk judi….semuanya perbuatan keji / Apapun nama dan bentuk judi….jangan dilakukan dan jauhi Film: Kalau orang sudah gila judi….uang belanja pun di kebiri, / Kalau orang sudah gila judi….tak punya uang bisa mencuri,
(artikel Noer MN / Soneta Mania – desain foto Muchit Chusnan)

SONETA Volume 15 “Gali Lobang Tutup Lobang” (MAA Record 1989)
Walaupun sudah boleh muncul lagi di TV, tetapi album ini tidak pernah dipromosikan di tv, oleh karena itu tidak ada video klip album ini.
Album ini merupakan album terakhir bagi H. Wempy (rhythm guitar), salah seorang anggota awal Soneta ya…ng mengundurkan diri dan kemudian membentuk OM. Rohata yang sempat melambungkan nama Ayu Soraya lewat album Cinta Berpayung Bulan. Selanjutnya posisi rhythm guitar diisi oleh Lukman.
Cover albumnya Pak Haji berjaket kulit coklat berselempang gitar.  (Artikel Noer MN / Soneta Mania – desain foto Muchit Chusnan)

SONETA Volume 16 “Terserah Kita” (MSC Record 1990)
Album ini boleh dikatakan sebagai mini album, karena side A dan side B hanya berisi 5 lagu tersebut (3 di side A dan 2 di side B). Untuk promosi di tv ditampilkan lagu Bujangan yang di-shoot di Studio Soneta Record.
Lagu Pesta Pasti Berakhi…r sempat dipromosikan pada acara Titian Muhibah kerjsama TVRI dan RTM Malaysia. Cover album bergambar close-up wajah Pak Haji tanpa guitarnya.
Inilah album terakhir Rhoma Irama dan Soneta yang berisi sedikitnya 5 lagu baru, karena selanjutnya dan sampai saat ini Pak Haji hanya merilis album-album single yang hanya berisi 1 lagu baru dan selebihnya lagu-lagu yang sudah pernah dirilis sebelumnya.  (Artikel Noer MN / Soneta Mania – desain foto Muchit Chusnan)

Sunday, May 6, 2012

ABOUT DANGDUT KOPLO

Assalmu'alaikum Sahabat Soneta

Pernah suatu hari saya ditanya oleh beberapa orang kawan...
 "kenapa kamu gak suka dangdut Koplo...?" 
ane jawab tegas... "Koplo itu merusak citra dangdut original...sama seperti halnya goyangan pornoaksi dipentas dangdut... 


Menurut saya pribadi, Koplo merupakan inovasi perkembangan musik... tapi telah memperkosa lirik-lirik lagu yang seharusnya bisa dihayati..
Silahkan... Koplo lagu-lagu dangdut...tapi jangan lagu Bang Haji...jangan lagu-lagu SONETA


Lirik demi lirik dan alunan original musik karya Bang Haji... indah untuk dinikmati...dihayati...direnungkan... jadi jangan diperkosa dengan KOPLO-mu....


Bang Haji pun selaras dengan prinsip saya...


Rhoma juga berkomitmen membersihkan musik dangdut dari nuansa musik koplo.

Rhoma yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Artis Musik Melayu Dangdut Indonesia (DPP PAMMI) 2012-2017 itu menegaskan kalau pihaknya tidak melarang orang berkreativitas dengan musik dangdut, namun dirinya keberatan jika karyanya diaransemen dan dinyanyikan secara koplo.
"Buat saya, kreativitas dalam konteks untuk penyegaran dalam aransemen bisa-bisa saja. Dangdut bisa kolaborasi sama rock, jazz dan lain-lain. Kalau koploin dangdut, ini saya pribadi sebagai pencipta lagu yang dibawakan secara koplo merasa keberatan. Karena dalam koplo itu, menampilkan sisi erotisme, dari sejarah perjalanannya seperti itu," ungkapnya.

Lagu, menurut Rhoma harus memiliki ruh dan pesan, serta seni dan unsur-unsur lainnya. Namun dengan koplo, secara artistik dan maknawi telah dirusak. Rhoma mencontohkan, sebuah lagu cinta yang melankolis dirusak dan hilang nilai seninya, apalagi lagu religi saat dibawakan secara koplo.
"Itu pelecehan namanya. Semua bisa membuat genre apapun, tapi jangan mengkoplokan musik dangdut. Saya pribadi nggak izinin karya saya dikoplo. Musik fun doang tanpa artistik, saya nggak setuju," tegasnya.
Rhoma yang baru terpilih kembali dalam Munas ke-3 di Surabaya 3-4 Maret lalu itu juga melantik pengurus PAMMI untuk periode 2012-2017. Pelantikan berlangsung di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta Pusat, Sabtu (21/4/2012). (kpl/ato/dar)

Ngenet dibayar harian....
 KLIK DISINI, Insya Allah Halal 
(diweb klik Skip add, kemudian ikuti panduannya)
 

BIOGRAFI SANG RAJA

Raden Haji Oma Irama atau disingkat Rhoma Irama yang berjuluk Raja Dangdut, lahir pada tanggal 11 Desember 1946 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia bergelar raden karena pada kedua orang tuanya mengalir darah bangsawan/ningrat. Ia merupakan putra kedua dari dua belas bersaudara, yaitu delapan saudara laki-laki dan empat saudara perempuan (delapan saudara kandung, dua saudara seibu dan dua saudara bawaan ayah tirinya).

 Ayahnya, Raden Burdah Anggawirya merupakan mantan komandan gerilyawan Garuda Putih pada zaman kemerdekaan. Ia memberi nama ‘Irama’ karena bersimpati terhadap grup sandiwara asal Jakarta yang bernama Irama Baru yang pernah diundang untuk menghibur pasukannya di Tasikmalaya. Ia sangat pandai dalam memainkan alat musik serta menyanyikan lagu-lagu cianjuran. Sedangkan Ibunya bernama Tuti Juariah, ia pun merupakan keturunan ningrat dan pandai pula dalam menyanyi, seperti lagu No Other Love yang sering didengarkan Rhoma sewaktu kecil.
Sebelum tinggal di Tasikmalaya, keluarganya tinggal di Jakarta dan di kota inilah, kakaknya Benny Muharram dilahirkan. Sedangkan Rhoma lahir di Tasikmalaya beberapa saat setelah pindah ke kota tersebut. Setelah lahir Rhoma, lahir pula adik-adiknya, seperti Handi dan Ance. Setelah itu, mereka pindah lagi ke Jakarta dan tinggal di Jalan Cicarawa, Bukit Duri, lalu pindah ke Bukit Duri Tanjakan. Di kota inilah mereka menghabiskan masa remajanya sampai tahun 1971, lalu pindah ke Tebet.
Semenjak kecil Rhoma sudah terlihat bakat seninya. Tangisannya terhenti tiap kali ibundanya, Tuti Juariah menyenandungkan lagu-lagu. Masuk kelas nol ia sudah mulai menyukai lagu. Minatnya pada lagu semakin besar ketika masuk sekolah dasar. Menginjak kelas 2 SD ia sudah bisa membawakan lagu-lagu barat dan India dengan baik. Ia suka menyanyikan lagu No Other Love, kesayangan ibunya dan lagu Mera Bilye Buchariajaya yang dinyanyikan oleh Latta Mangeshkar. Selain itu ia juga menikmati lagu-lagu Timur Tengah yang dinyanyikan oleh Umm Kaltsum.
Bakat musiknya mungkin berasal dari ayahnya yang fasih memainkan seruling dan menyanyikan lagu-lagu cianjuran, sebuah kesenian khas Sunda. Selain itu, pamannya, Arifin Ganda sering mengajarkan lagu-lagu Jepang ketika Rhoma masih kecil.
Karena usia Rhoma yang tidak berbeda jauh dengan kakaknya, mereka selalu kompak dan pergi berdua-duaan. Berbeda dengan kakaknya yang malas mengikuti pengajian di surau atau di rumah kyai, Rhoma selalu mengikuti pengajian dengan tekun. Setiap kali ayah dan ibunya bertanya, apakah kakaknya ikut mengaji, Rhoma selalu menjawab ‘ya. Berangkat ke sekolah pun mereka selalu berangkat bersama-sama dengan berboncengan sepeda. Keduanya bersekolah di SD Kibono, Manggarai.


Ketika SD, bakat menyanyi Rhoma semakin kelihatan. Rhoma adalah murid yang paling rajin bila disuruh maju ke depan kelas untuk menyanyi. Uniknya, Rhoma tidak sama dengan murid-murid yang lain yang sering malu-malu di depan kelas. Rhoma menyanyi dengan suara keras hingga terdengar sampai kelas-kelas lain. Perhatian murid-murid semakin besar karena Rhoma tidak menyanyikan lagu anak-anak maupun lagu kebangsaan, melainkan lagu-lagu India.

Bakatnya sebagai penyanyi mendapat perhatian dari penyanyi senior, Bing Slamet karena terkesan melihat penampilan Rhoma ketika menyanyikan lagu barat dalam acara pesta di sekolahnya. Suatu hari, ketika Rhoma duduk di kelas 4, Bing Slamet membawanya tampil dalam sebuah show di Gedung SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) di Manggarai. Ini merupakan pengalaman yang berharga bagi Rhoma.
Sejak saat itu, meskipun belum berpikir untuk menjadi penyanyi Rhoma sudah tidak terpisahkan lagi dari musik. Atas usaha sendiri ia belajar memainkan gitar hingga mahir. Karena saking tergila-gilanya dengan gitar, Rhoma sering membuat ibunya marah besar. Setiap kali ia pulang sekolah yang pertama dicarinya adalah gitar. Begitu pula ketika setiap kali ia keluar rumah hampir selalu membawa gitar. Pernah suatu kali ibunya menyuruh Rhoma menjaga adiknya, tetapi Rhoma lebih suka memilih bermain gitar. Akibat ulah tersebut, ibunya merampas gitarnya lalu melemparkannya ke pohon jambu hingga pecah. Kejadian itu membuat Rhoma sedih karena gitar adalah teman nomor satu baginya.

Perkembangan selanjutnya dalam mempelajari musik ia mulai menyadari bahwa meskipun ayah dan ibunya pasangan berdarah ningrat yang menyukai musik, tetapi mereka tetap menganggap bahwa dunia musik bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan atau dijadikan profesi. Ibunya sering meneriakkan ‘berisik’ setiap kali ia menyanyi dan beranggapan, bahwa musik akan menghambat sekolahnya. Kenyataan ini membuat bakat musik Rhoma semakin berkembang di luar rumah karena jika di rumah ia kurang mendapat dukungan.

Pada saat Rhoma duduk di kelas 5 SD tahun 1958 ayahnya meninggal dunia. Sang ayah meninggalkan delapan anak yaitu: Benny, Rhoma, Handi, Ance, Dedi, Eni, Herry dan Yayang. Kemudian, ibunya menikah lagi dengan seorang perwira ABRI, Raden Soma Wijaya yang masih ada hubungan famili dan juga berdarah ningrat. Ayah tirinya ini membawa dua anak dari istrinya yang dulu dan setelah menikah dengan ibu Rhoma memiliki dua anak lagi.
Ketika ayah kandungnya masih hidup suasana di rumahnya feodal. Bahasa sehari-hari ayah dan ibunya adalah bahasa Belanda. Segalanya harus serba teratur dan menggunakan tatakrama tertentu. Para pembantu harus memanggil anak-anak dengan sebutan ‘Den’ (raden). Anak-anak harus tidur siang dan makan bersama-sama. Ayahnya juga tak segan-segan menghukum mereka dengan pukulan jika dianggap melakukan kesalahan, seperti bermain hujan ataupun membolos sekolah.

Keadaan keluarga Rhoma di Tebet waktu itu memang tergolong cukup kaya bila dibandingkan masyarakat sekitar. Rumahnya mentereng dan memiliki beberapa mobil, seperti, mobil merk Impala, mobil yang tergolong mewah pada waktu itu. Rhoma juga selalu berpakaian bagus dan mahal.
Namun, suasana feodal tersebut tidak ada lagi setelah ayah tirinya hadir di tengah-tengah keluarga mereka. Bahkan, berkat ayah tiri serta pamannya inilah Rhoma mendapatkan ‘angin’ untuk menyalurkan bakat musiknya. Secara bertahap ayah tirinya membelikan alat musik akustik seperti, gitar, bongo, dan sebagainya.
Dunia Rhoma di masa kanak-kanak rupanya bukan hanya di dunia musik. Rhoma juga sering adu jotos dengan anak-anak lain. Lingkungan pergaulannya ketika itu tergolong keras. Anak-anak saat itu cenderung mengelompok dalam geng dan satu geng dengan geng lainnya saling bermusuhan atau paling tidak saling bersaingan. Dengan demikian perkelahian antar geng sering tak terhindarkan.

Bukitduri, tempat tinggalnya hampir setiap kampung di daerah itu terdapat geng (kelompok anak muda). Di Bukitduri ada BBC (Bukitduri Boys Club), di Kenari ada Kenari Boys, Cobra Boys, dan sebagainya. Banyak anak muda dari Bukitduri Puteran dan dari Manggarai yang bergabung dengan Geng Cobra. Geng-geng ini saling bermusuhan sehingga keributan selalu hampir terjadi setiap mereka bertemu.
Satu hal yang cukup menonjol pada diri Rhoma adalah, bahwa teman-temannya hampir selalu menjadikannya sebagai pemimpin. Tentu saja bila gengnya bentrok dengan geng lain, Rhoma-lah yang diharapkan tampil di depan untuk berkelahi. Meskipun pernah menang beberapa kali Rhoma juga sering mengalami babak belur bahkan luka cukup parah karena dikeroyok 15 anak di daerah Megaria.
Ketika ia masuk SMP tempat-tempat berlatih silat semakin marak. Tetapi, bagi Rhoma ilmu bela diri nasional ini tidaklah asing karena sejak kecil ia sudah dapat latihan dari ayahnya dan beberapa guru lainnya. Rhoma pernah belajar silat Cingkrik (paduan silat Betawi dan Cimande) kepada Pak Rohimin di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Rhoma juga pernah belajar silat Sigundel di jalan Talang, selain beberapa ilmu silat yang lain. Bila terjadi perkelahian antar geng para anggotanya saling menjajal ilmu silat yang telah mereka pelajari.
Karena kebandelannya itulah, maka Rhoma beberapa kali harus tinggal kelas sehingga karena malu maka ia sering berpindah sekolah. Kelas 3 SMP pernah dijalaninya di Medan, Sumatera Utara ketika ia dititipkan di rumah pamannya. Tapi, tak berapa lama kemudian, ia pindah lagi ke SMP Negeri XV Jakarta.

Kenakalan Rhoma terus berlanjut hingga bangku SMA. Pada waktu bersekolah di SMA Negeri VIII Jakarta, ia pernah kabur dari kelas lewat jendela karena ingin bermain musik dengan teman-temannya yang sudah menunggunya di luar. Kegandrungannya pada musik dan berkelahi di dalam dan luar sekolah membuatnya sering keluar masuk sekolah SMA. Selain di SMA Negeri VIII Jakarta, ia juga pernah tercatat sebagai siswa di SMA PSKD Jakarta, SMA St. Joseph di Solo dan akhirnya ia menetap di SMA 17 Agustus Tebet, Jakarta, tak jauh dari rumahnya.

Pada masa SMA di Solo Rhoma pernah melewati masa-masa sangat pahit. Ia terpaksa menjadi pengamen di jalanan kota Solo. Di sana ia ditampung di rumah seorang pengamen yang bernama Mas Gito. Sebenarnya sebelum terdampar di Solo ia berniat hendak belajar di pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Namun, karena tidak membeli karcis Rhoma, Benny (kakaknya) dan tiga orang temannya, Daeng, Umar dan Haris harus main kucing-kucingan dengan kondektur selama dalam perjalanan. Daripada terus gelisah karena takut ketahuan dan diturunkan ditempat sepi, mereka akhirnya memilih turun di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Dari Yogya mereka naik kereta lagi menuju Solo.
Ketika di Solo Rhoma melanjutkan sekolahnya di SMA St. Joseph. Biaya sekolahnya diperoleh dari ngamen dan menjual beberapa potong pakaian yang dibawanya dari Jakarta. Namun karena di Solo sekolahnya tidak lulus, Rhoma harus pulang ke Jakarta dan melanjutkan sekolah di SMA 17 Agustus sampai akhirnya lulus tahun 1964. Kemudian, ia kuliah di Fakultas Sosial Politik, Universitas 17 Agustus. Tapi, hal tersebut hanya bertahan satu tahun karena ketertarikannya pada dunia musik yang begitu besar.

Musik pop dan rock merupakan langkah pertama Rhoma sebagai pemusik dan penyanyi. Seperti dikisahkan kakak kandungnya, Benny Muharram, bahwa Rhoma sempat enggan merekam lagu Melayu yang ditawarkan oleh Dick Tamimi dari perusahaan rekaman Dimita Moulding Company pada tahun 1967, meskipun sebelumnya dia sudah sering menyanyi bersama sejumlah orkes melayu.

Selain menjadi penyanyi Orkes Melayu Candraleka dan Indraprasta, Rhoma juga melantunkan suaranya bersama Band Tornado dan Varia Irama Melody. Bersama band-band tersebut Rhoma membawakan lagu-lagu pop barat dan menyanyi sambil meniru persis suara Paul Anka melalui lagu yang berjudul Diana ataupun Put Your Head On My Shoulder dan lagunya Andy Williams seperti, Butterfly, Moon River, serta Tom Jones seperti, Green-green Grass of Home, Dellilah.
Rhoma memang sudah bergelut dengan musik pop sejak masih di bangku SMA. Bersama teman-teman sekolahnya ia sempat membentuk Band Gayhand. Ketika musik Rock n’ Roll melanda Indonesia, ternyata hal tersebut membuat Rhoma terpesona hingga dalam hatinya ia bertekad “Elvis saja bisa menjadi raja dengan gitarnya, saya juga bisa”.
Namun begitu berada di dalam dunia musik, Rhoma ikut terbawa arusnya. Dengan meniru gaya menyanyi Benyamis S. dan Ida Royani, Muchsin Alatas dan Titiek Shandora yang sedang populer, Rhoma tidak keberatan diduetkan dengan Inneke Kusumawati oleh Amin Widjaya dari perusahaan rekaman Metropolitan dan Canary Records. Diiringi Band Zaenal Combo pimpinan Zaenal Arifin, Rhoma dan Inneke rekaman dalam sejumlah lagu seperti, Pujaan Hati, Di Rumah Saja, Bunga dan Kupu-kupu, Mohon Diri, Mabuk Kepayang, Jangan Dekat-dekat, Anaknya Lima, Si Oteh, Lonceng Berbunyi, Melati di Musim Kemarau dan Cinta Buta. Menurut Zakaria, pimpinan Orkes Pancaran Muda yang salah satu lagunya, Anaknya Lima, dibawakan duet ini. Munculnya pasangan Rhoma-Inneke sempat menggoyahkan popularitas Muchsin Alatas dan Titiek Sandora.

Melihat keberhasilannya berduet dengan Inneke, kemudian Zakaria menyarankan Rhoma berduet dengan Wiwiek Abidin untuk mengikuti lomba menyanyi di Singapura pada tahun 1971, dan duet Rhoma-Wiwiek berhasil menjadi juara.
Pada acara Panggung Gembira Hari Radio ke 26 di halaman gedung RRI Jln. Merdeka Barat, 19 Januari 1971, walau termasuk masih baru, duet Rhoma-Inneke menjadi pusat perhatian di antara penyanyi-penyanyi duet lainnya, seperti, Elly Kasim-Tiar Ramon, Vivi Sumanti-Frans Doromez dan Ida Royani- Benyamin Sueb. Duet Rhoma-Inneke juga diiringi oleh Band Galaxi pimpinan Jopie Item ketika rekaman. Dengan pakem musik rock, Jopie mengiringi Rhoma mengiringi sendirian dengan pekik dan teriakan yang kemudian diteruskannya setelah mendirikan Soneta Group pada 13 Oktober 1970.

Pergaulan Rhoma dengan musik pop dan rock pula yang mempertemukannya dengan pimpinan band perempuan Beach Girls yang bernama Veronica Agustina Timbuleng dan lantas menikahinya pada tahun 1972. Pasangan ini dikaruniai tiga orang anak, yaitu Debbie Veramasari, Fikri Zulfikar dan Romy Syahrial.

Arus industri musik juga sempat membawa Rhoma dan Vero bertrio dengan Debbie mengikuti sukses Chicha dengan lagu Heli serta Yoan dengan lagu Si Kodok pada tahun 1976. Akan tetapi, setelah memimpin grupnya sendiri, Soneta Group yang bersemboyan Voice of Moslem (Suara Muslim), Rhoma justru menjadi arus itu sendiri dengan menyuntikkan musik rock ke dalam album dangdutnya yang pertama yang berjudul ‘Begadang’, yang berisi lagu-lagu Begadang, Sengaja, Sampai Pagi, Tung Keripit, Cinta Pertama, Kampungan, Ya Le Le, Tak Tega dan Sedingin Salju. Akibatnya, Rhoma menyulut pro dan kontra. Komunitas dangdut banyak yang keberatan, sementara kalangan pemusik rock menerima dengan sinis. Ujung-ujungnya diadakan diskusi yang bertajuk “Sekitar Musik Hard Rock dan Dangdut” di Gedung Merdeka Bandung pada akhir Juni 1976, dengan Maman S. dari majalah Aktuil sebagai penyelenggara, dan menghadirkan pembicara Dr. Sudjoko dari ITB, Remy Silado, Benny Subarja dan Denny Sabri sebagai wakil Rhoma yang tidak hadir. Ahmad Albar dan Harry Roesli yang diundang tidak juga tidak kelihatan. Eksperimen Rhoma yang semestinya dijadikan perhatian serius justru menjadi olok-olok hingga timbul ejekan, seperti, tahi anjing dan bistik jangan dibandingkan gado-gado. Grup rock God Bless dan Soneta dipertemukan di Istora, pada 22 Desember 1977 dengan maksud melihat mana yang lebih hebat, rock atau dangdut. Padahal, sebelum manggung Rhoma melepaskan merpati putih sebagai tanda perdamaian.
Sebagaimana diskusinya, pertunjukan di Istora tersebut juga tidak memberikan solusi yang konkret. Grup musik rock tetap berjalan sebagaimana biasa, sementara Rhoma justru terus berkibar dengan dangdut rocknya yang semakin membumi sampai-sampi masyarakat menjulukinya ‘Raja Dangdut’. Album-album rekamannya yang semakin ‘ngerock’ mengalir tanpa bisa dibendung, bahkan oleh pemerintah Orde Baru sekalipun yang dengan alasan politik melarangnya tampil di stasiun televisi satu-satunya saat itu, TVRI. Hal tersebut merupakan dampak atas lagu-lagunya yang menyindir pemerintah, seperti pada lagu Hak Azasi. Pada lagu tersebut dengan gagah berani Rhoma berbicara mengenai HAM, kebebasan berbicara, beragama, bekerja dan sebagainya. Album rekamannya menjadi arus yang memutar roda industri musik semakin kencang. Setelah album Begadang menjadi sangat populer, menyusul album-album berikutnya, seperti; Penasaran (1976), Rupiah (1976), Darah Muda (1977), Musik (1977), 135 Juta (1978), Santai (1979), Hak Azasi (1980), Begadang II (1981), Sahabat (1982), hingga Indonesia (1983), yang semuanya diproduksi oleh Yukawi Corporation. Perusahaan rekaman ini lantas berubah menjadi Soneta Records, milik Rhoma.

Langkah tegap Rhoma semakin mantap dengan membintangi beberapa film, seperti; Oma Irama Penasaran (1976), Gitar Tua Oma Irama (1977), Oma Irama Berkelana I (1978), Oma Irama Berkelana II (1978), Begadang (1978), Raja Dangdut (1978), Cinta Segitiga (1979), Camelia (1979), Perjuangan dan Doa (1980), Melodi Cinta Rhoma Irama (1980), Badai di Awal Bahagia (1981), Satria Bergitar (1984), Cinta Kembar (1984), Pengabdian (1985), Kemilau Cinta di Langit Jingga (1985), Menggapai Matahari I (1986), Menggapai Matahari II (1986), Nada-nada Rindu (1987), Bunga Desa (1988), Jaka Swara (1990), Nada dan Dawah (1991), serta Tabir Biru (1994), diteruskannya dengan penerbitan soundtrack yang laris manis. Dalam film Darah Muda, Rhoma bahkan menggandeng Ucok Harahap dari grup rock Aka yang pernah bertarung dengan Soneta Group di atas panggung. Pertarungan musik rock dan dangdut juga adalah inti cerita film ini.
Berdasarkan data penjualan kaset dan jumlah penonton film-film yang dibintanginya, penggemar Rhoma tak kurang dari 15 juta atau 10% penduduk Indonesia. Ini catatan sampai pertengahan tahun 1984. “Tidak ada kesenian mutakhir yang memiliki lingkup sedemikian luas”, tulis majalah Tempo pada 30 Juni 1984. sementara itu Rhoma sendiri berkata, “Saya takut publikasi, ternyata, saya sudah terseret jauh”.

Data PT Perfin menyebutkan, hampir semua film Rhoma laku. Bahkan, sebelum sebuah film selesai diproses orang sudah membelinya, seperti film berjudul Satria Bergitar misalnya. Film yang dibuat dengan biaya Rp 750 juta ini, ketika belum rampung sudah memperoleh pialang Rp 400 juta. Menurut kakaknya, Benny, yang juga produser PT Rhoma Film, Rhoma tidak pernah makan uang dari hasil film, tetapi dari hasil penjualan kaset. Uang hasil film disumbangkan untuk, antara lain, masjid, yatim piatu, kegiatan remaja dan perbaikan kampung. Bahkan, pada tahun 1983 Rhoma membayar zakat sebesar Rp 6 juta.
Meskipun demikian, jika dikaitkan dengan perolehan material, Rhoma bisa dikatakan sebagai pemusik terkaya di negeri ini. Bayangkan, sebelum pemusik lain naik mobil Mercy, ia sudah menikmati kenyamanan mobil mewah itu sejak tahun 70-an. Hal tersebut terindikasi ketika membaca wawancaranya dengan harian The Jakarta Post, saat Rhoma secara rendah hati menyatakan punya uang yang cukup meski tidak banyak. Hal itu masuk akal, mengingat sejeblok-jebloknya kaset Rhoma Irama di pasaran, minimal akan terjual sampai 400 ribu copy per album. Ini semakin menggelikan jika dibandingkan dengan musisi di luar dangdut yang acapkali berbangga secara berlebihan meski kasetnya hanya terjual tak lebih dari 100 ribu copy.
Boleh jadi sampai kini kejayaan Rhoma belum tergantikan. Kalau dulu ada sebutan The Big Five untuk para ‘Bintang Mahal’, seperti, Roby Sugara, Roy Marten dan Yati Ocktavia, maka pada saat yang sama sebenarnya nilai kontrak Rhoma tetap jauh di atas mereka. Bahkan, banyak produser film rela menunggu giliran sampai tiga tahun hanya untuk dapat mengontrak Rhoma.
Selain itu, Rhoma juga terhitung sebagai salah satu penghibur paling sukses dalam mengumpulkan massa. Rhoma bukan hanya tampil di dalam negeri, tetapi ia juga pernah tampil di Kuala Lumpur, Singapura dan Brunei Darussalam dengan jumlah penonton yang hampir sama ketika ia tampil di Indonesia. Beberapa media massa Indonesia melaporkan, bahwa, penonton pertunjukan Rhoma di berbagai daerah ada yang jatuh pingsan atau celaka lantaran terlalu berdesakan. Hal yang sangat disesalkan Rhoma sendiri. “Untuk mendapatkan hiburan, mengapa mesti sampai jatuh korban begitu?” katanya.
Rhoma menyatakan, bahwa dirinya banyak dijadikan bahan rujukan penelitian. Ada sekitar 7 skripsi tentang dirinya dan musik yang telah dihasilkan. Selain itu, peneliti asing juga kerap menjadikannya obyek penelitian, salah satunya adalah William H. Frederick, Doktor Sosiologi, Universitas Ohio, AS pada 1985 dengan judul; Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspect of Contemporary Indonesia Popular Culture, yang meneliti tentang kekuatan popularitas serta pengaruh Rhoma Irama pada masyarakat. Ia menyebutkan dalam tesisnya, bahwa: “Rhoma Irama adalah revolusioner dalam dunia musik Indonesia. Hampir bisa dipastikan, di Indonesia, Rhoma Irama adalah penghibur paling jempolan. Sejak rapat-rapat raksasa di masa Demokrasi Terpimpin, acara panggung yang paling banyak dibanjiri massa adalah panggung Rhoma Irama”. Lebih lanjut ia mengatakan, “Bila di dunia musik Amerika sosok Mick Jagger sangat berpengaruh, di Indonesia, bandingan sosok yang sepadan dengannya ada pada figur Rhoma Irama. Kedua orang ini sama-sama jenius dan otodidak. Keduanya mampu tampil ke posisi puncak musikalnya karena kekuatan bakat alam yang luar biasa hebat.”


Pada akhir April 1994 Rhoma Irama menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Tanaka dari Life Record Jepang di Tokyo. Sebanyak 200 buah judul lagunya akan direkam ke dalam bahasa Inggris dan Jepang, untuk diedarkan di pasar Internasional. Rencananya lagu-lagu tersebut dibuat dalam bentuk laser disc (LD) dan compact disc (CD).
Mereka digambarkan sebagai raja dan ratu yang sama-sama mempunyai kerajaan. Suasana itu makin kental dan legitim dengan hadirnya MURI (Museum Rekor Indonesia -red.) yang memasukkan Rhoma dan Elvy sebagai raja dan ratu dangdut Indonesia. Meski terlambat, tentu cukup menghibur. Soalnya, jauh sebelum itu, di tahun 1985, majalah Asia Week telah menempatkan Rhoma Irama sebagai raja musik Asia Tenggara.

Ngenet dibayar harian....

 KLIK DISINI, Insya Allah Halal 
(diweb klik Skip add, kemudian ikuti panduannya)
dari berbagai sumber

STRUKTUR PAMMI

DPP PAMMI periode 2012-2017 

  • Ketua Umum                        : H. Rhoma Irama
  • Ketua harian                        : Ikke Nurjanah, SE
  • Ketua bidang Organisasi       : Husein Audah
  • Ketua bid. Litbang                : Hendro Saky
  • Ketua bid. Hukum                : Ismail, SH
  • Ketua bid. Humas                : Surya Aka Syahnagra, SH, MH
  • Ketua bid. Kessos                : Ayu Soraya
  • Ketua bid. Rohani                : Khalid Karim
  • Sekretaris Jendral               : Waskito
  • Bendahara Umum                : Ir. Tedy Suratmadji
  • Wakil Bendahara                 : Chyntya Sari, SE

Ngenet dibayar harian....

 KLIK DISINI, Insya Allah Halal 
(diweb klik Skip add, kemudian ikuti panduannya)
  •  

SONETA FANS CLUB INDONESIA


Profil Pendiri SFCI

Nama Lengkap: Endang Supriyatna (Ndang Zulfikar)
Tempat dan Tanggal Lahir: Jakarta, 21 Nopember 1968
Nama Bapak: H. Mardani
Nama Ibu: Hj. Siti Aminah
Isteri: Kusmiati
Anak: Ulfah Rizkiani (16), Deni Ramdhani (12) dan Noer Mashita (9)
Pendidikan: SMA Markatin Jakarta
Hoby: Olahraga dan Memancing
Alamat: Komplek Perdagangan Rt 6/06 no. 75 Kelapa Gading Timur Jakarta Utara. HP: 085693448826

Perjalanan Soneta Fans Club Indonesia

Gagasan Terbentuknya Soneta Fans Club Indonesia
  • Ingin terbentuknya sekelompok penggemar Soneta Group disamping menyatukan penggemar-penggemar Soneta Group di Tanah Air

Syarat Pendaftaran Menjadi Anggota SFCI
Mengisi Formulir yang telah disediakan di sekretariat Soneta Fans Club Indonesia yang beralamat di jln. P. Komarudin, Cakung, Jakarta-Timur

Kegiatan SFCI
1. Bidang Keagamaan
  • Memperingati Hari-hari Besar Islam
  • Menggelar Tabligh Akbar dalam rangka memberikan pendidikan kepada ummat setiap setahun sekali dan merupakan kegiatan rutin SFCI
2. Bidang Sosial
  • Santunan Anak Yatim
  • Zakat Fitrah
3. Bidang Seni-Budaya
  • Mendirikan Grup Musik Dangdut ZULFIKAR GROUP (diasuh oleh H. Moch Nasir Pemain Mandolin Soneta)
Tujuan Soneta Fans Club Indonesia (SFCI)
1. Meningkatkan Ukhuwah Islamiyah sesama penggemar Soneta Group
2. Mendukung misi Soneta Group Pimpinan Rhoma Irama (The Sound Of Islam)
3. Menjaga nama baik Soneta Group pimpinan H. Rhoma Irama
4. Menjaga dan melindungi seni budaya bangsa (dangdut) 

Ngenet dibayar harian....

 KLIK DISINI, Insya Allah Halal 
(Link diarahkan keweb klik Skip add, kemudian ikuti panduannya)

Copy from Sonetafansclubindonesia.blogspot.com